Archive for the ‘Pengetahuan’ Category

204 Pilkada serentak 9 Desember 2015 kali ini menarik untuk dikaji. 197 Kabupaten/Kota dan 7 Provinsi. Banyak sudah terprediksi, namun ada beberapa diluar prediksi. Incumbent menang adalah biasa, justru kalah artinya ada yang salah selama memimpin. Itulah “pengadilan” demokrasi, saat dipersepsi baik dalam memimpin maka akan mendapat reward terpilih lagi, sebaliknya saat kepemimpinan dipersepsi buruk maka punishment.

Keberanian kaum muda untuk maju dalam pasangan calon pilkada patut diapresiasi, terlebih banyak kemenangan diraih oleh pasangan calon yang masih muda ini. Disebut muda karena usia maksimal 50th. Hal ini menarik, sebab mungkin bisa menunjukkan kematangan politik kaum muda, atau juga menegaskan bahwa saat ini Indonesia mulai memasuki era bonus demografi bahkan hingga 30 tahun kedepan, artinya ini adalah era kaum muda maka kamilah yang memimpin.

Ini adalah kabar baik, perjalanan 17 tahun reformasi masih stagnan, menurut para ahli belum berhasilnya reformasi birokrasi menjadi penyebab signifikan, kenapa belum berhasil? Karena meski sudah reformasi tapi masih saja orang lama dengan paradigma lama. Man bihind the gun. Bahkan sampai pernah ada ide cutting generation.
Saat ini, kaum muda indentik dengan semagat, progresif, dan bersih dari masa lalu.

Falsafah kita adalah menghormati yang tua dan mengasihi yang muda. Tantangannya adalah bagaimana mensinergikan kaum muda ini dengan kaum tua. Optimis, sebab sejarah membuktikan dari kaum mudalah yang mengawali kemerdekaan bangsa ini.

Akankah pemimpin muda era kelas menengah ini berhasil dalam uji?

Pada dasarnya Sekolah tidak perlu ada. Saat pendidikan menjadi sebuah keniscayaan, bahkan sejak lahir hingga liang halat sekaplipun. Pada dasarnya mendidik adalah tugas orang tua dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Namun, ketika ayah sudah mulai sibuk dengan kepentingannya dengan dalih mencari nafkah, kemudian ibu sibuk dengan urusan rumah tangga sebagai bentuk bakti sorang istri, dan tetangga sekitar juga melakukan hal yang kurang lebih sama yaitu sibuk dengan urusannya masing-masing maka lahirlah  Sekolah. Ataou mungkin tidak separah itu sibuknya, mungkin karena Tidak Tahu harus didik apa anaknya agar siap dnegan era zamannya kelak.

Hadirnya tempat berkumpul para anak-anak dari orang tua yang “sibuk” ini seakan menjadi solusi bagi orang tua. Dengan ongkos ganti pendidikan dan perawatannya yang dapat dianggakan berupa rupiah. Tragisnya, pemahaman yang demikian telah lama berlangsung sehingga beberapa orang tua menganggap “saya sudah bayar maka anak saya haurs pintar!” maka jika begini kelak akan muncul ungkapan “saya akan bayar jika anak saya pintar, kalau anak saya tidak pintar ngapain saya bayar!”

Logika sederhana itulah yang semakin menjauhkan jarak antara peran lingkungan orang tua dan sekolah serta masyarakat. Idealnya (menurut saya sih…) anak-anak kita tidak perlu sekolah (secara formal). Mungkin terlalu kalimat saya ini. Namun ada komponen yang harus dipenuhi jika kita bisa melakukan hal itu, yaitu :

  1. Negara menjamin keahlihan dan kemampuan (skill) yang terbukti dilapangan bahkan memberikan apresiasi dan mefasilitasi terjadinya asimilasi kultur edukasi secara masif
  2. Masyarakat telah teredukasi secara sistemik pada perangkat strata kemasyarakatnya yaitu keluarga, RT, RW, Keluarahan, PKK, Karang Taruna, dll dan juga secara kultural yaitu tradisi membaca, mencoba, bertradisi ilmiah, menhargai, mengapresiasi, dan segala sikap positif dalam mensikapi pendidikan.
  3. Siswa atau anak itu sendiri siap dan termotivasi sebab mereka seakan seperti “objek” dari lingkungannya namun mereka juga menjadi subjek kelak jika kematangan tiba.

Singkatnya sekolah yang saya maksud ini adalah bukan gedung sekolah namun sebuah komunitas yang biasa kita sebut Kampung.

Bayangan saya adalah saat anak kita lahir, kita tidak pernah sibuk meikirkan harus sekolah dimana, ayah-ibunya dan keluarga beserta tetangga saling memberikan pendidikan mulai dari moral, etika, semangat hidup, berkarya, dan bekerja. Jadi jika ada ang anaknya menjadi Insinyur pertanian, maka kita tinggal meninitipkan anak kita di kampung pertanian. Disana sudah ada fasilitas bertani yang modern, penuh falsafah hidup bertani, dan yang penting langsung praktek bersama masyarakat kampung tani.

Atau jika ada yang ingin menjadi akuntan, banker, dll, maka di kampung itu terdapat banyak bank (seperti di Zurich -Swiss mungkin) maka mereka langsung belajar bagaiama dengan uang sejak kecil dan yang paling penting prakteknya. 1 kampung bisa untuk beragam profesi yang bisa saling melengkapi dan mengisi.

Trus siapa yang menilai. Ya penduduk kampung itu sendiri, maka penduduk kampung adalah orang-orang yang terbaik atau tokoh-tokoh di bidangnya, dan bisa membimbing secara profesional, beretika, dan penuh muatan falsafah kehidupan.

Sederhananya begini (bayangkan) : Sebuah kapung Perkapalan maka Mahasiswa dan dosen kampus ITS jurusan Teknik perkapalan, PT. PAL, Departemen Kelauatan, bahkan warga nelayan tinggal di satu kampung itu. Mereka belajar, membuat kapal, dan berinteraksi dengan nelayan di dukung oleh Teknologi PT.Pal dan Pemerintah mencarikan dana, maka hasil temuan mahasiswa dan dosen inu bisa langsung diproduksi masal dan bisa dipakai oleh nelayan.

Mungkin Kalau diera saat ini model yang demikian disebut Program Training Camp, Magang, Program Holiday Camp, dll sepertinya mirip namun ini dalam tempo waktu yang lama sesuai dengan sekolah formal dan jenjangnyapun bisa sama bahkan legalitasnyanun bisa diberikan (kalau perlu) makanya peran negara sangat dibutuhkan.

Sekolah ini yang mungkin disebut sekolah kehidupan. Saling terintegrasi antara siswa, orang tua, dan masyarakat dan segara sekaligus. Ini memang seperti utopia. Namun saya percaya kelak ketika pemerintah dan warganya sudah mulai terdidik maka ini bisa terwujud. Ini sudah mulai dirintis lho, salah satunya negara Finlandia yaitu negara yang termasuk sukses dan “mendidik” warganya. Artinya jika ada orang yang kesana, secara tidak langsung mereka akan terbiasa dengan model mayarakat sana.

Saya percaya bisa, buktinya kenapa jika warga kita di negara lain katakanlah di Singapura, mereka sangat tertip dan disiplin. Namun setelah pulang ke Indonesia, seakan hasil “pendidikan” lingkungan Singapura itu hilang. Terbuktikan !!!

MENURUT BLOOM

NO RANAH & ASPEK INDIKATOR CARA PENGUNGKAPAN
A. Kognitif

1. Ingatan

    2. Pemahaman

    3. Aplikasi

    4. Analisis

    5. Sintesis

    6. Evaluasi

    Menunjukkan,membandingkan,

    Menghubungkan, menyebutkan, menunjukkan

    Menjelaskan, mendefinisikan dengan kata-kata sendiri

    Memberikan contoh, menggunakan dengan tepat, memecahkan masalah

    Menguraikan, mengklasifikasikan

    Menghubungkan, menyimpulkan, menggeneralisasikan

    Menginterpretasikan, memberikan kritik, memberikan pertimbangan/penilaian

    Tugas/tes/observasi/

    pertanyaan

    Pertanyaan/tes/tugas

    Tugas/tes/observasi

    Tugas/tes

    Tugas/tes

    Tugas/tes

    B. Afektif

    1. Penerimaan

    2. Sambutan

    3. Penghargaan

    4. Internalisasi

    5. Karakterisasi

    Bersikap menerima, menyetujui, atau sebaliknya

    Bersedia terlibat, partisipasi, memanfaatkan atau sebaliknya

    Memandang penting/bernilai/ berfaedah/harmionis/kagum atau sebaliknya

    Mengakui, mempercayai, meyakini atau sebaliknya

    Melembagakan, membiasakan, menjelmakan dalam pribadi dan perilaku.

    Pertanyaan/tes/skala sikap

    Tugas/observasi/ tes

    Skala penilaian/tugas/ observasi

    Skala sikap/tugas/

    ekspresif/proyektif

    Observasi

    C. Psikomotor

    1. Keterampilan bergerak
    2. Keterampilan ekspresi verbal dan nonverbal

    Koordinasi mata-tangan – dan kaki

    Gerak, mimik, ucapan

    Tugas/observasi/tes tindakan

    Tugas/observasi/tes tindakan

    TAXONOMI PERILAKU (Bloom)

    NO RANAH ASPEK
    1. KOGNITIF
    1. Ingatan
    2. Pemahaman
    3. Aplikasi
    4. Analisis
    5. Sintesis
    6. Evaluasi
    2. AFEKTIF
    1. Penerimaan
    2. Sambutan
    3. Penghargaan
    4. Internalisasi
    5. Karakterisasi
    3. PSIKOMOTOR
    1. Keterampilan bergerak
    2. Keterampilan ekspresi verbal dan non verbal

    Kecakapan hidup (life skill)

    • General life skill

    Self awareness

    • Penghayatan diri
    • Menyadari kelebihan dan kekurangan
    Thinking skill

    • Menggali informasi
    • Mengolah informasi
    • Memecahkan masalah
    Social skill

    • kecakapan komunikasi
    • kecakapan bekerjasama
      • Specific life skill
    Academic skill

    • Identifikasi variabel
    • Merumuskan hipotesis
    • Melaksanakan penelitian
    Vocational skill
    • keterampilan kejuruan

    4 pilar pendidikan (Unicef)

    • Belajar mengetahui
    • Belajar berbuat
    • Belajar hidup bersama, belajar hidup dg. orang lain
    • Belajar menjadi seseorang

    “Didiklah anakmu karena ia akan hidup di zaman yang bukan zamanmu” (Ali bin Abi Tholib)

    Pendidikan

    —Adalah proses “memanusiakan” manusia.
    —Menjadi amanah bangsa :
    1. Muqodimah UUD 1945
    2. Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan
    3.Pasal 3 UU no.20/2003 tentang Fungsi Pendidikan Nasional

    JAUH SEBELUM ITU …
    —Alah sudah menegaskan dalam Al Qur’an tetang kedudukan ILMU dalam Islam.
    1)Misi Kekhalifahan ditunjang dengan Ilmu (QS. Al Baqarah 30-31)
    2)Ilmu datang mendahului sebelum Iman (QS. Al Alaaq 1-5)
    3)Semua Nabi dan Rasul dibekali ilmu/hikmah
    4)Syarat mendapatkan kesuksesan dunia dan akhirat adalah dengan Ilmu
    5)Allah mengangkat derajat orang yang berilmu
    Tujuan Terbesar Pendidikan
    Menjalankan amanah Allah di Bumi menjadi :
    1. KHALIFAH berfungsi sebagai IMARAH dan RI’AYAH
    (QS. Al Baqorah 2 : 30)
    2. INDIVIDU berfungsi sebagai ABID
    (QS. Ad Dzariyat 51 : 56)

    PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
    1.Paradigma ‘ilmullah

    2.Paradigma Holistik – Integralistik

    Arah pendidikan adalah menjadikan manusia SEBENARNYA (sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki) dan SEUTUHNYA (sesuai dengan fitrah dan norma)

    Kesimpulan
    “Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan, maka Allah menjadikan ia pandai mengenai agama (dan Ia ilhamkan petunjukNya)” (HR. Muttafqun alaihi)
    Ilmu menurut Ibn Khaldun (1332-1406)
    —Menurutnya Ilmu dalam Islam mencirikan ilmu pengetahuan sebagai berikut :
    1.Theosentrik (QS. Al Imran 60)
    2.Monokotomik (QS. Al Ghasiyah 17-20)
    (Agama adalah sumber Ilmu)
    3.Ilmu tidak bebas nilai (QS. Ali Imran 190-191)

    Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

    Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
    Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
    Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
    Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
    Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

    ==Nusantara==
    Pada tahun [[1920-an]], [[Ernest Francois Eugene Douwes Dekker]] ([[1879]]-[[1950]]), yang dikenal sebagai Dr. [[Setiabudi]] (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah ”’Nusantara”’, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari [[Pararaton]], naskah kuno zaman [[Majapahit]] yang ditemukan di [[Bali]] pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh [[J.L.A. Brandes]] dan diterbitkan oleh [[Nicholaas Johannes Krom]] pada tahun [[1920]].

    Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (”antara” dalam [[bahasa Sansekerta]] artinya luar, seberang) sebagai lawan dari ”Jawadwipa” (Pulau Jawa). [[Sumpah Palapa]] dari [[Gajah Mada]] tertulis “”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa”” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).

    Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi ”jahiliyah” itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata [[Melayu]] asli ”antara”, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

    Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari [[Sabang]] sampai [[Merauke]].

    ==Nama Indonesia==
    Pada tahun [[1847]] di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, ”Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” (JIAEA), yang dikelola oleh [[James Richardson Logan]] ([[1819]]-[[1869]]), seorang [[Skotlandia]] yang meraih sarjana hukum dari [[Universitas Edinburgh]]. Kemudian pada tahun [[1849]] seorang ahli etnologi bangsa [[Inggris]], [[George Samuel Windsor Earl]] ([[1813]]-[[1865]]), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

    Dalam JIAEA Volume IV tahun [[1850]], halaman 66-74, Earl menulis artikel ”On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (”a distinctive name”), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: ”’Indunesia”’ atau ”’Malayunesia”’ (”nesos” dalam [[bahasa Yunani]] berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
    :””… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians””.

    Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ([[Srilanka]]) dan Maldives ([[Maladewa]]). Earl berpendapat juga bahwa [[bahasa Melayu]] dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

    Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The ”Ethnology of the Indian Archipelago”. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “”’Indian Archipelago”’” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah ”’Indonesia”’.

    Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
    :””Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago””.

    Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang [[etnologi]] dan [[geografi]].

    Pada tahun [[1884]] guru besar etnologi di [[Universitas Berlin]] yang bernama [[Adolf Bastian]] ([[1826]]-[[1905]]) menerbitkan buku ”Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun [[1864]] sampai [[1880]]. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam ”Encyclopedie van Nederlandsch-Indie” tahun [[1918]]. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.

    [[Pribumi]] yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ([[Ki Hajar Dewantara]]). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun [[1913]] beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama ”Indonesische Pers-bureau”.

    Nama ”’indonesisch”’ (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof [[Cornelis van Vollenhoven]] (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).

    ==Politik==
    Pada dasawarsa [[1920-an]], nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

    Pada tahun [[1922]] atas inisiatif [[Mohammad Hatta]], seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di [[Rotterdam]], organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama [[Indische Vereeniging]]) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, ”Hindia Poetra”, berganti nama menjadi ”Indonesia Merdeka”.

    Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
    :”Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (”de toekomstige vrije Indonesische staat”) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

    Di tanah air Dr. [[Sutomo]] mendirikan [[Indonesische Studie Club]] pada tahun [[1924]]. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Pada tahun [[1925]] [[Jong Islamieten Bond]] membentuk kepanduan [[Nationaal Indonesische Padvinderij]] (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal [[28 Oktober]] [[1928]], yang kini dikenal dengan sebutan [[Sumpah Pemuda]].

    Pada bulan Agustus [[1939]] tiga orang anggota [[Volksraad]] (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), [[Muhammad Husni Thamrin]], [[Wiwoho Purbohadidjojo]], dan [[Sutardjo Kartohadikusumo]], mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini.

    Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal [[8 Maret]] [[1942]], lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada tanggal [[17 Agustus]] [[1945]], lahirlah ”’Republik Indonesia”’.

    Dua bidang studi ini yang dianggab sangat berpengaruh terhadap konsep diri anak, begitu kata para ahli pendidikan, bahasa sangat berperan dasar untuk membawa anak mengerti ilmu pengetahuan sebab dengan bahasa mereka diajari membaca dan menulis simbol-simbol ilmu pengetahuan yang tertuang dalam rangkaian huruf menjadi kata lalu kalimat. Dan dengan matematika, anak diajak untuk bernalar menyelesaikan masalah baik yang abstrak maupu kongkrit. Namun apakah itu saja yang bisa membuat anak menjadi pintar? Jawabannya tentu tidak!

                Paham dan Logis merupakan ikatan dasar untuk melahap ilmu pengetahuan. Namun tanpa motivasi untuk terus belajar manusia tidak akan dapat meraih kesuksesan hidup. Jauh sebelum Andreas Harefa mendengungkan manusia pembelajar sesungguhnya manusia pertama Adam juga belajar, coba bayangkan, sebagai satu-satunya manusia di bumi, Adam harus siap dengan situasi dan kondisi alam apapun untuk tetap survive. Nah, tanpa terus belajar memahami alam mustahil akan ada yang namanya manusia.

                Sebenarnya, belajar menurut saya adalah termasuk insting manusia. Lho kok bisa? Itu sih pendapat saya, sejak didalam rahim, manusia belajar untuk mengetahui lingkungan sekitarnya, buktinya janin dalam kandungan itu mengempot ibu jarinya dan menurut para ahli bisa mendengarkan apa yang terjadi di sekitarnya terutama ibunya.

    Selanjutnya, balita akan terus belajar untuk bisa mengungkapkan keinginan lewat belajar menangis, berbicara, bermain-main barang. Siapakah yang mengajari anak untuk merangkak, berjalan, hingga berlari. Itu adalah innting manusia, manusia adalah seorang pembelajar sebab naluri dasarnya adalah belajar.

    Tapi kenapa ketika manusia besar, belajar seakan-akan bukan lagi suatu yang isntingtif yaitu secara enteng saja untuk melakukan melainkan perlu adanya dorongan-dorongan lain yang kita kenal dengan motivasi. Sudahkan anda menemukan kembali insting anda?