Pendidikan Pada Generasi Z dan Alfa Kunci Sukses Indonesia Emas (2)

1. Deskripsi Gagasan

Abad 21 adalah era digital. Terbukti 73,5% penduduk Indoensia adalah pengguna Internet aktif. Data Indonesia Milenials Report dari Idntimes, mengutip BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2020, mencatat ada 129,3 juta adalah pekerja yang mana terdapat 63,5 juta adalah generasi millenials, dilihat latar belakang pendidikan dengan 40,5% lulusan SD, 17,8% lulusan SMP, 29% lulusan SMA, dan hanya 10% yang Sarjana.[1]

Padahal tantangan yang saat ini dihadapi bukan hanya antar warga sendiri namun persaingan global dengan warga asing, karena Indonesia tergabung dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang terdiri atas 16 negara Asean dan beberapa negara di sekitarnya. RCEP memiliki tujuan progresif menghapuskan tarif dan hambatan nontarif serta memfasilitasi dan meningkatkan transparansi antarnegara anggota mulai 2022.[2]

Terdapat 3 (tiga) masalah utama yang kita alami yaitu : HDI yang masih rendah, Kompetensi pelajar yang masih rendah, dan degradasi moral.

Maka untuk mengatasi tiga masalah utama di era revolusi industri 4.0 dalam bidang pendidikan yang dilakukan secara umum oleh sekolah adalah :

  1. Penamanan karakter dan moral ajaran agama lewat kisah/sejarah
  2. Menstandarisasi Sekolah
  3. Melatih 10 skill atau ketrampilan utama abad 21

2. Analisis Gagasan

Maka analis untuk mengatasi tiga  masalah utama bangsa saat ini, maka sekolah bisa mempertimbangkan untuk melaksanakan tiga ide dan menyiapkan dua komponen pendudung, yaitu

a. Memasukkan Materi Sejarah dan Sirah Nabi

Menurut Lickona, menyadari bahwa pintar dan baik itu tidaklah sama, sejak zaman Plato masyarakat bijak telah menjadikan pendidikan moral sebagai tujuan sekolah. Mereka telah memberikan pendidikan karakter yang diberengkan dengan pendidikan intelektual, kesusilaan, dan literasi, serta etika ilmu pengetahuan. Terlebih lagi pendidikan budi pekerti adalah pondasi demokrasi, alasannya demokrasi merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, rakyatlah yang bertanggungjawab memastikan kekebasan dan keadilan masyarakat. Ini berarti rakyat dalam kondisi “bermoral baik” agar bisa berjalan dengan baik.

Lebih lanjut, didorong keyakinan itu maka masa-masa awal republik USA sekolah memberikan pendidikan karakter melalui kurikulum, dan teladan dari guru tentang patriotisme, kejujuran, kerja keras, hemat, dermawan, dan keberanian. Mereka terbiasa membaca kisah dan dongeng tentang kepahlawanan dan keluhuran budi.[3]

Menanamkan karakter dan moral ajaran Islam bisa melalui Sirah Nabi dan para sahabat, serta belajar sejarah atau biografi dari tokoh-tokoh muslim dunia dan tokoh-tokoh bangsa Indonesia. Sebab cara paling efektif sesuai membangun pendidikan karakter adalah melalui kisah-kisah mulia, begitu yang dibuktikan oleh para sahabat dan ulama kita.

Maka mata pelajaran Sejarah atau Sirah Nabi adalah penting diajarkan kepada calon generasi Emas. Selain itu kisah biografi para sahabat, tabiin, dan para tokoh-tokoh Islam juga perlu dimasukkan dalam kurikulum. Anak didik kita juga perlu belajar sejarah bangsanya sendiri yaitu Indonesia. Sebab sejarah itu bukan hanya tentang tanggal dan nama pelaku, tapi yang penting adalah apa yang melatarbelakangi suatu peristiwa, dan apa akibat jangka panjang dari peristiwa itu.

Sejarah menurut Ibnu Khaldun memiliki fungsi multi dan tujuan mulia. Sebab dengan sejarahlah kita mengenal kondisi bangsa-bangsa terdahulu dalam segi perilaku, karakter, moral raja-raja dan penguasa. Generasi yang ingin merefleksikan perilaku dan mengambil hikmah-hikmah positif dari pola hidup mereka sangat memerlukan referensi dari keragaman sumber informasi peristiwa yang akurat dan dapat dipercaya.

b. Menstandarisasi Sekolah

Secara umum ada lima aspek yang perlu dibenahi dalam dunia pendidikan saat ini, yaitu hardware  (fasilitas fisik),  software  (kurikulum dan sistem pembelajaran),  brainware  (guru, murid dan orangtua), netware (jaringan kerjasama), dan dataware (data murid/guru/ lulusan). Lewat standarisasi kelima aspek bisa diselesaikan. Sekolah bisa mengevaluasi untuk memilah dan memilih sesuai skala prioritas kebutuhan sesuai dengan peta jalan Indonesia Emas.

Standarisasi dibutuhkan agar mudah dalam mencapai target secara terukur dan terevaluasi. Sehingga bisa mengetahui apakah sudah memenuhi kualitas mutu secara Nasional atau Internasional.

Sekolah bisa memilih acuan standarisasi pendidikan sekolah secara bertahap dari Nasional lalu Internasional. Dimulai memilih dari satu atau dua standar Nasional yang berlaku seperti akreditasi BSNP, JSIT, dan standar pendidikan pesantren. Bila terbatas bisa menstandarisasikan fokus pada bidang-bidang tertentu seperti metode bacaan Al Qur’an, metode hafalan, atau standar pendidikan vokasional/kejuruan. Atau juga menstandarkan pada layanan seperti Standar ISO.

Bila Standar Nasional telah dipenuhi, maka bisa memulai dengan standar Internasional seperti Cambrigde Assessment atau International Baccalaureate. Untuk kompetensi belajar siswa bisa menggunakan pengukuran PISA. Maka penguatan kompetensi membaca, matematika, dan sains menjadi penting untuk bersaing dengan pelajar-pelajar di dunia.

Untuk standarisasi metode bisa mengadopsi metode pembelajaran yang berlaku International seperti STEAM (Science Technology Engineering Arts Mathematics) menjadi salah satu kunci penting dunia pendidikan menghadapi era Revolusi 4.0. STEAM bisa mendorong pengembangan ilmu sains, teknologi, teknik, dan matematika semakin kreatif.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan STEAM merupakan cara mendidik Education 4.0 yang dengan perlu dilakukan di era Revolusi Industri 4.0.[4]

Maka sebagai sekolah Islam bisa mengembangkan sendiri dengan memasukkan satu nilai yaitu Iman sehingga menjadi I-STEAM (Iman Science Technology Engineering Arts Mathematics).

Prinsip standarisasi ini adalah untuk menjaga kualitas atau mutu lulusan yang berdaya saing. Jaminan mutu lulusan yang baik dan konsisten akan berdampak pada kelangsungan sekolah di masa depan. Secara garis besar mutu ada dua yaitu absolut dan relatif. Mutu absolut adalah capaian standar tinggi, sedangkan mutu relatif adalah standar kualitas yang diukur dengan pengingkatan kualitas layanan atau perubahan yang terjadi.[5]

Jika masih terbatas, sekolah bisa mencari informasi tentang tentang standar-standar yang berlaku Nasional atau Internasional itu sehingga terbuka wawasan para guru, yayasan, dan walimurid untuk bekerjasama meningkatkan mutu sekolah dengan melakukan adopsi atau adaptasi secara bertahap lewat studi banding, benchmarking, bisa juga dengan konsultan pendidikan. Ini peran leadership kepala sekolah dalam memilih dan memilah sesuai kebutuhan, berkomunikasi dengan lembanga-lembaga terkait, serta mengambil keputusan.[6]

c. Melatih 10 Skill Utama Abad 21

10 skill utama abad 21 yaitu Berfikir analitis dan inovatif, Pembelajar aktif dan strategis, Penyelesai masalah komplek, Berfikir kritis dan analis, Kreatif dan inisiatif, Kepemimpinan dan pemberi pengaruh sosial, Pengguna teknologi, monitoring, dan kontrol, Desain Teknologi dan programer, Tangguh dan fleksibel terhadap tekanan, Argumentatif dan ide solutif.

Sekolah memulai dari memahamkan guru tentang 10 skill utama ini, lalu diajarkan kepada siswa yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Ditengah keunggulan dan keterbatasan sekolah, maka sekolah melakukan analisa SWOT untuk membuat skala prioritas aspek skill yang menjadi keunggulan yang nantinya digarap dengan terkonsep hingga menjadi differensiasi sekolah. Sekolah bisa memilih dua skill prioritas yang bisa memberi dampak besar bagi sekolah. Sesuai Hukum Pareto: Formula 80/20 yang dapat diterapkan dalam seluruh sendi kehidupan Prinsip menyatakan bahwa untuk banyak kejadian, sekitar 80% daripada efeknya disebabkan oleh 20% dari penyebabnya.[7]

Skill-skill utama itu jika disederhanakan maka bisa kita ajarkan kepada anak didik dalam materi enteprenuership/kewirausahaan. Untuk itu, setiap siswa yang telah dibekali dengan keterampilan hidup (life skills) dan kewirausahaan (entrepreneurship), sehingga dapat meringankan beban keluarga dan masyarakat yang telah berat.

d. Dua Komponen Akselerasi

Dua komponen pendukung ini bisa menjadi akselerasi dari ide utama, yaitu :

a. Adanya Psikolog

Perbedaan generasi yang mencolok antara Yayasan, Guru, Walimurid, dan siswa. Karakteristik tiap generasi yang berbeda bisa menjadi masalah sendiri apabila tidak disolusikan. Setiap warga sekolah harus memiliki pemahaman psikologis tentang karakteristik generasi Z dan Alpha serta cara mengajar efektif mereka. Demikian juga harus memahami generasi X, Y atau bahkan generasi boomers.

Idealnya setiap sekolah memiliki psikolog. Apabila belum memiliki maka upgrading guru dengan seminar dan pelatihan materi psikologi. Tugas psikolog sekolah menjadi patner guru dalam memberikan bimbingan dan konseling agar proses belajar mengajar menjadi efektif efisien, menjadi patner Kepala sekolah dalam membuat keputusan terkait program kegiatan sekolah yang bisa mengintegrasikan kompetensi dan peningkatan ketrampilan abad 21.

b. Bidang Riset dan Pengembangan

Pengembangan sekolah harus direncanakan agar hasilnya juga baik. Perencanaan yang baik memiliki ciri-ciri : 1. Rencana harus mempermudah mencapai tujuan, 2. Rencana harus dibuat oleh orang-orang yang sungguh-sungguh memahami organisasi, 3. Rencana harus detail dan teliti, 4. Rencana harus ada cara pelaksanaannya, 5. Rencana harus sederhana, luwes, dan praktis, 6. Rencana harus memuat alternatif resiko.[8]

Maka disinilah peran Reserach and Development (RnD) atau Bidang Riset dan Pengembangan. Terdiri orang internal sekolah dan eksternal. Internal ini mereka orang-prang pilihan yang mengerti visi misi organisasi, mengerti budaya, dan sejarah organisasi. Eksternal adalah orang/lembaga baru yang dihadirkan dengan tujuan membawa pengetahuan untuk pengembangan sekolah.

RnD ini lebih tepat dibawah naungan Yayasan. Sebab kepentingannya luas bisa untuk antar jenjang, atau hubungan dengan lembaga dan masyarakat. Sekolah sebagai sumber data sekaligus pengguna hasil riset dan pengembangan. Namun bila ada terpaksa di sekolah, maka kepala sekolah bisa membentuk tim kecil yang terdiri dari guru untuk pengembangan sekolah pada aspek-aspek tertentu seperti kurikulum keislaman, kurikulum kewirausahaan, atau lainnya.


[1] Indonesia-millennial-report-2020-by-IDN-Research-Institute.pdf

[2] https://www.liputan6.com/bisnis/read/4115517/65-persen-pasar-indonesia-terbuka-untuk-perdagangan-bebas-mulai-2022

[3] Thomas Lickona, Pendidikan Karakter : Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, Bandung : Nusa Media, 2013, hal. 7

[4] https://edukasi.kompas.com/read/2020/01/16/15231941/steam-metode-pengajaran-untuk-menghadapi-revolusi-industri-40?page=all

[5] Shobikhul Qisom, The Power of Principal Leadership, Surabaya : Kualita Media Tama, 2016, hal 7

[6] Ibid, 56

[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Prinsip_Pareto

[8] Imam Gunawan dan Djum Djum Noor Benty, Managemen Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2017, hal.42




    Tinggalkan komentar