Sejarah nama Indonesia

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

==Nusantara==
Pada tahun [[1920-an]], [[Ernest Francois Eugene Douwes Dekker]] ([[1879]]-[[1950]]), yang dikenal sebagai Dr. [[Setiabudi]] (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah ”’Nusantara”’, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari [[Pararaton]], naskah kuno zaman [[Majapahit]] yang ditemukan di [[Bali]] pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh [[J.L.A. Brandes]] dan diterbitkan oleh [[Nicholaas Johannes Krom]] pada tahun [[1920]].

Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (”antara” dalam [[bahasa Sansekerta]] artinya luar, seberang) sebagai lawan dari ”Jawadwipa” (Pulau Jawa). [[Sumpah Palapa]] dari [[Gajah Mada]] tertulis “”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa”” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).

Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi ”jahiliyah” itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata [[Melayu]] asli ”antara”, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari [[Sabang]] sampai [[Merauke]].

==Nama Indonesia==

Pada tahun [[1847]] di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, ”Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” (JIAEA), yang dikelola oleh [[James Richardson Logan]] ([[1819]]-[[1869]]), seorang [[Skotlandia]] yang meraih sarjana hukum dari [[Universitas Edinburgh]]. Kemudian pada tahun [[1849]] seorang ahli etnologi bangsa [[Inggris]], [[George Samuel Windsor Earl]] ([[1813]]-[[1865]]), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun [[1850]], halaman 66-74, Earl menulis artikel ”On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (”a distinctive name”), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: ”’Indunesia”’ atau ”’Malayunesia”’ (”nesos” dalam [[bahasa Yunani]] berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
:””… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians””.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ([[Srilanka]]) dan Maldives ([[Maladewa]]). Earl berpendapat juga bahwa [[bahasa Melayu]] dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The ”Ethnology of the Indian Archipelago”. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “”’Indian Archipelago”'” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah ”’Indonesia”’.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
:””Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago””.

Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang [[etnologi]] dan [[geografi]].

Pada tahun [[1884]] guru besar etnologi di [[Universitas Berlin]] yang bernama [[Adolf Bastian]] ([[1826]]-[[1905]]) menerbitkan buku ”Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun [[1864]] sampai [[1880]]. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam ”Encyclopedie van Nederlandsch-Indie” tahun [[1918]]. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.

[[Pribumi]] yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ([[Ki Hajar Dewantara]]). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun [[1913]] beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama ”Indonesische Pers-bureau”.

Nama ”’indonesisch”’ (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof [[Cornelis van Vollenhoven]] (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).

==Politik==
Pada dasawarsa [[1920-an]], nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun [[1922]] atas inisiatif [[Mohammad Hatta]], seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di [[Rotterdam]], organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama [[Indische Vereeniging]]) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, ”Hindia Poetra”, berganti nama menjadi ”Indonesia Merdeka”.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
:”Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (”de toekomstige vrije Indonesische staat”) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Di tanah air Dr. [[Sutomo]] mendirikan [[Indonesische Studie Club]] pada tahun [[1924]]. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Pada tahun [[1925]] [[Jong Islamieten Bond]] membentuk kepanduan [[Nationaal Indonesische Padvinderij]] (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal [[28 Oktober]] [[1928]], yang kini dikenal dengan sebutan [[Sumpah Pemuda]].

Pada bulan Agustus [[1939]] tiga orang anggota [[Volksraad]] (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), [[Muhammad Husni Thamrin]], [[Wiwoho Purbohadidjojo]], dan [[Sutardjo Kartohadikusumo]], mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini.

Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal [[8 Maret]] [[1942]], lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada tanggal [[17 Agustus]] [[1945]], lahirlah ”’Republik Indonesia”’.


  1. Desy

    Gue seneng banget ada informasi yang oke punya kayak gini.
    tp mnurut gue, bahasanya itu menggunakan b.indo yg resmi, tpy singkat dan jls, oke??
    Thx




Tinggalkan Balasan ke Desy Batalkan balasan